skip to main | skip to sidebar

RimaRimeeRimoOl

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Selasa, 07 April 2015

Adversity Quotient

Diposting oleh arima melia sari di 06.10 Label: psikologi umum







1.      Pengertian Adversity Quotient
            Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993: 14). Adversity sendiri bila diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna kesulitan atau kemalangan, dan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakbahgiaan, kesulitan atau ketidakberuntungan. Menurut Rifameutia (Reni Akbar Hawadi, 2002: 195) istilah adversity dalam kajian psikologi didefinisikan sebagai tantangan dalam kehidupan.
            Nashori (2007: 47) berpendapat bahwa Adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berpikir dan tindaknnya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya. Menurut Leman (2007: 115) mendefinisikan Adversity Quotient secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk mengahadapi masalah. Beberapa definisi diatas yang cukup beragam, terdapat fokus atau titik tekan,  yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik atau psikis dalam menghadapi problematika atau permasalahan yang dialami.
            Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz (2000: 9) Adversity Quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan dan kesulitan secara teratur. Adversity Quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi.
            Menurut Stoltz (2000: 12) kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat Adversity Quotient. Adversity Quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu:
a.       Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesulitan.
b.      Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan, dan
c.       Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient merupakan suatu kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam mengahadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatandan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap kesulitan tersebut.
2.      Dimensi-dimensi Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2000:102) ada empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan Adversity Quotient yang tinggi, yaitu :
a.      Kendali/control ( C )
Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyesalan. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.
b.      Daya Tahan/endurance ( E )
Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan orang yang mempunyai Adversity Quotient yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki.
c.       Jangkauan/reach ( R )
Jangkauan merupakan bagian dari Adversity Quotient yang mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lai dari individu. Reach juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Reach menunjukan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress. Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah disatu bidang dia tidak harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.
d.      Kepemilikan/origin and ownership ( Q )
Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal usul dan pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab asal usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal usulnya) rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya.

3.      Faktor Pembentuk Adversity Quotient.
Faktor-faktor pembentuk Adversity Quotient menurut Stoltz (2000: 92) adalah sebagai berikut :
a.      Daya saing
Seligman (Stoltz 2000 : 93) berpendapat bahwa Adversity Quatient yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
b.      Produktivitas
Penelitian yang dilakuakan di sejumlah perusahaan menunjukan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja karyawan dengan respon yang diberikan terhadap kesulitan. Artinya respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih baik, dan sebaliknya respon yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.
c.       Motivasi
Penelitian yang dilakukan oleh Stoltz (2000:94) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan segenap kemampuan.


d.      Mengambil Resiko
Penelitian yang dilakukan oleh Satterfield dan Seligman (Stoltz 2000:94) menun jukan bahwa seseorang yang mempunyai Adversity Quatient tinggi lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan advertisy Quatient tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif.
e.       Perbaikan
Seseorang dengan Adversity Quatient yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit, yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain.
f.       Ketekunan
Seligman menemukan bahwa seseorang yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa bertahan.
g.      Belajar
Menurut Carol Dweck  (Stoltz 2000:95) membuktikan bahwa anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola pesimistis.

4.      Tiga Tingkatan Kesulitan
            Stoltz (Diana Nidau, 2008: 22) mengkalsifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga dan menggambarkan ketiga kesulitan tersebut dalam suatu piramida sebagai berikut :


                                         




Gambar 1. Tiga Tingkatan Kesulitan (Sumber: Diana Nidau: 2008)
            Bagian puncak piramida menggambarkan sosial adversity (kesulitan di masayarakat). Kesulitan ini meliputi ketidakjelasan masa depan, kecemasan tentang keamanan, ekonomi, serta hal-hal lain yang dihadapi seseorang ketika berada dan berinteraksi dalam sebuah masyarakat (Mulyadi & Mufita, 2006: 39). Pada seorang siswa sekolah menengah pertama diidentifikasikan dengan cita-cita  seorang siswa tersebut.
            Kesulitan kedua yaitu kesulitan yang berkaitan dengan work place adversity ( kesulitan ditempat kerja) meliputi keamanan ditempat kerja, pekerjaan, jaminan penghidupan yang layak dan ketidakjelasan mengenai apa yang terjadi. Pada siswa sekolah menengah pertama kesulitan di tempat kerja digambarkan sebagai aktifitas sekolah yang penuh dengan tantangan, meliputi proses sosialisasi orientasi lingkungan sekolah, proses belajar mengajar sehingga membutuhkan motiovasi lebih dalam mnegerjakannya.
            Kesulitan ketiga individual adversity (kesulitan individu) yaitu individu menanggung beban akumulatif dari ketiga tingkat, namun individu memulai perubahan dan pengendalian. Pada sekolah menengah pertama, masing-masing siswa pasti akan menghadapi kesulitan, sehingga kemampuan masing-masing siswa untuk menyelesaikan kesuliatan berpengaruh dalam sekolah dan cita-citanya.
Dari ketiga kesulitan diatas, tantangan berprestasi paling urgen bagi siswa (Diana Nidau, 2008: 22 ). Kesulitan tersebut dapat diatasi apabila siswa mampu melakukan perubahan positif dimulai dengan meningkatkan kendali terhadap kesulitan. 

5.      Karakter Manusia Berdasarkan Tinggi Rendahnya Adversity Quotient
Di dalam merespon suatu kesulitan terdapat tiga kelompok tipe manusia, di tinjau dari tingkat kemampuannya (Stolz, 2000:18) :
a.      Quitters
Quitters (mereka yang berhenti), adalah seseorang yang memillih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Quitters (mereka yang berhenti), orang-orang jenis ini berhenti di tengan proses pendakian, gampang putus asa, dan menyerah (Ginanjar Ary Agustian, 2001: 271). Orang dengan  tipe ini cukup puas dengan pemenuhan kebuuhan dasar atau fisiologis saja dan cenderung pasif, memilih untuk keluar menghindari perjalanan, selanjutnya mundur dan berhenti. Para Quitter, menolak menerima tawaran keberhasilan yang disertai dengan tantangan dan rintangan. Orang yang seperti ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam  kehidupan. Dalam hierarki Maslow tipe ini berada pada pemenuhan kebutuhan fisiologis yang letaknya paling dasar dalam bentuk piramida.


b.       Campers
Campers atau satis-ficer (dari kata satified = puas dan suffice = mencukupi). Golongan  ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Tipe ini merupakan golongan yang sedikit lebih banyak, yaitu mengusahakan terpenuhinya kebutuhan keamanaan dan rasa aman pada skala hiersrki Maslow. Kelompok ini juga tidak tinggi kapasitasnya untuk perubahan karena terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Campers setidaknya telah melangkah dan menanggapi tantangan, tetapi setalah mencapai tahap tertentu, campers berhenti meskipun masih ada kesempatan untuk lebih berkembang lagi. Berbeda dengan quitters,campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan yang dihadapinnya sehingga telah mencapai tingkat tertentu.

c.       Climbers
Climbers (pendaki) adalah mereka yang selalu optimis, melihat peluang-peluang, melihat celah, melihat senoktah harapan dibalik keputusasaan, selalu bergairah untuk maju. Noktah kecil yang dianggap sepele, bagi para climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah kesuksesan (Ginanjar Ary Agustian, 2001: 17).
Climbers merupakan kelompok orang yang selalu berupaya mencapai puncak kebutuhan aktualisasi diri pada sekala hierarki Maslow. Climbers adalah tipe manusia yang berjuang seumur hidup tidak peduli sebesar apapun kesulitan yang datang. Climbers tidak dikendalikan oleh lingkungan, tetapi dengan berbagai kreatifitasnya tipe ini berusaha mengendalikan lingungannya. climbers akan selalu memikirkan berbagai alternatif permasalahan dan menganggap kesulitan dan rintangan yang ada justru menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang, dan memperlajari lebih banyak lagi tentang kesulitan hidup. Tipe ini akan sselalu siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan.

Kemampuan quitters, campers, dan climbers dalam menghadapi tantangan kesulitan dapat dijelaskan bahwa quitters memang tidak selamanya ditakdirkan untuk selalu kehilangan kesempatan namun dengan berbagai bantuan, quitters akan mendapat dorongan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi. Kehidupan climbers memang menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada hentinya. Kesuksesan yang diraih berkaitan langsung dengan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan, setelah yang lainnya menyerah, inilah indikator-indikator adversity quotient yang tinggi.


Tugas
PSIKOLOGI UMUM

“ADVERSITY QUOTIENT”











DISUSUN OLEH:

 1 A

Titis Aprilia Dian P                (13111241060)
Ingrid Maharani Basuki        (13111241061)
Meilani Ika Pratiwi                (13111241062)
Meita Hapsariningrum          (13111241063)
Nova Maria Hutagalung       (13111241064)
Khalimatus Sa’Diyah            (13111241065)
Nur Kholisoh                          (13111241066)
Diah Prabawati                      (13111241067)
Dewi Lestari                           (09111241040)


PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Labels

  • (Bahasa indonesia) (1)
  • (Hemodialisis) (1)
  • (makanan berbahaya di Asia ) (1)
  • Cerita Berbingkai Imaa ^^ (1)
  • Cerita Rakyat (1)
  • Favorites Song 2 Ailee(에일리) _ Heaven (1)
  • Favorites Songs (Ailee(에일리) _ I will show you(보여줄게) (1)
  • Imaa ^^ (1)
  • Kesehatan (3)
  • Kesehatan ( Mengulas Si Bulat Kentang ) (1)
  • My Hortatory Exposition (1)
  • psikologi umum (3)
  • Resensi Novel Imaa ^^ (1)

Blog Archive

  • ▼  2015 (3)
    • ▼  April (3)
      • Berfikir Positif
      • post power syndrome
      • Adversity Quotient
  • ►  2013 (2)
    • ►  Juli (2)
  • ►  2012 (12)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Mei (1)

Followers

Pages

  • Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts

  • Hemodialisis (Cuci Darah)
  • Resensi Novel Imaa ^^
  • discussion text
  • My Hortatory Exposition Task (Arima Melia Sari)
  • Kesehatan ( Mengulas Si Bulat Kentang )
  • Cerita Berbingkai Imaa ^^
  • Makanan Mematikan Di Asia
  • Asal mula Desa Ngepreh (cerita rakyat rima)
  • Manfaat Buah Kelengkeng ^^
  • Adversity Quotient

About Me

Foto Saya
arima melia sari
PG PAUD FIP UNY YOGYAKARTA \\ LOVE ART \\ LOVE MUSIC\\ LOVE DANCE
Lihat profil lengkapku

Categories

  • (Bahasa indonesia) (1)
  • (Hemodialisis) (1)
  • (makanan berbahaya di Asia ) (1)
  • Cerita Berbingkai Imaa ^^ (1)
  • Cerita Rakyat (1)
  • Favorites Song 2 Ailee(에일리) _ Heaven (1)
  • Favorites Songs (Ailee(에일리) _ I will show you(보여줄게) (1)
  • Imaa ^^ (1)
  • Kesehatan (3)
  • Kesehatan ( Mengulas Si Bulat Kentang ) (1)
  • My Hortatory Exposition (1)
  • psikologi umum (3)
  • Resensi Novel Imaa ^^ (1)

About

Free-Widget-Animasi

Blog Archive

  • ▼  2015 (3)
    • ▼  April (3)
      • Berfikir Positif
      • post power syndrome
      • Adversity Quotient
  • ►  2013 (2)
    • ►  Juli (2)
  • ►  2012 (12)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Mei (1)

Cari Blog Ini

 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com