1.
Pengertian
Adversity Quotient
Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris
yang berarti kegagalan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993: 14). Adversity sendiri bila diartikan dalam
bahasa Indonesia bermakna kesulitan atau kemalangan, dan dapat diartikan
sebagai suatu kondisi ketidakbahgiaan, kesulitan atau ketidakberuntungan.
Menurut Rifameutia (Reni Akbar Hawadi, 2002: 195) istilah adversity dalam kajian
psikologi didefinisikan sebagai tantangan dalam kehidupan.
Nashori (2007: 47) berpendapat bahwa
Adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan
kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berpikir dan tindaknnya ketika
menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya. Menurut
Leman (2007: 115) mendefinisikan Adversity Quotient secara ringkas, yaitu
sebagai kemampuan seseorang untuk mengahadapi masalah. Beberapa definisi diatas yang cukup
beragam, terdapat fokus atau titik tekan,
yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik atau psikis dalam
menghadapi problematika atau permasalahan yang dialami.
Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz
(2000: 9) Adversity Quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan
dan kesulitan secara teratur. Adversity Quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam
menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada
prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi.
Menurut Stoltz (2000: 12) kesuksesan
seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat Adversity
Quotient. Adversity Quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Kerangka
kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi
kesulitan.
b. Suatu
ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan, dan
c. Serangkaian
alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.
Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient merupakan suatu
kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam mengahadapi segala macam kesulitan sampai
menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi
hambatandan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap
kesulitan tersebut.
2.
Dimensi-dimensi
Adversity Quotient
Menurut
Stoltz (2000:102) ada empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan Adversity
Quotient yang tinggi, yaitu :
a.
Kendali/control ( C )
Kendali
berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan
sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa
yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar
kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh
dalam niat serta ulet dalam mencari penyesalan. Demikian sebaliknya, jika
semakin rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi
kesulitan dan mudah menyerah.
b.
Daya
Tahan/endurance ( E )
Dimensi
ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan
akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang
baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan tinggi akan memiliki
harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang
dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin
besar kemungkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang
bersifat sementara dan orang yang mempunyai Adversity Quotient yang rendah akan menganggap bahwa
kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan sulit
untuk diperbaiki.
c.
Jangkauan/reach ( R )
Jangkauan
merupakan bagian dari Adversity Quotient yang
mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lai dari
individu. Reach juga berarti sejauh
mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan
seseorang. Reach menunjukan kemampuan
dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress. Semakin
tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon
kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam
menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya
dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan
kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah disatu bidang dia tidak
harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu
tersebut.
d.
Kepemilikan/origin and ownership ( Q )
Kepemilikan
atau dalam istilah lain disebut dengan asal usul dan pengakuan akan
mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana
seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai
penyebab asal usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal usulnya) rendah akan cenderung berfikir bahwa semua
kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau
kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak
semangatnya.
3.
Faktor
Pembentuk
Adversity Quotient.
Faktor-faktor
pembentuk Adversity Quotient menurut Stoltz (2000: 92) adalah
sebagai berikut :
a.
Daya
saing
Seligman
(Stoltz 2000 : 93) berpendapat bahwa Adversity
Quatient yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing
ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan
peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
b.
Produktivitas
Penelitian
yang dilakuakan di sejumlah perusahaan menunjukan bahwa terdapat korelasi
positif antara kinerja karyawan dengan respon yang diberikan terhadap
kesulitan. Artinya respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap
kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih baik, dan sebaliknya respon
yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.
c.
Motivasi
Penelitian
yang dilakukan oleh Stoltz (2000:94) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai
motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang
dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan
menggunakan segenap kemampuan.
d.
Mengambil
Resiko
Penelitian
yang dilakukan oleh Satterfield dan Seligman (Stoltz 2000:94) menun jukan bahwa
seseorang yang mempunyai Adversity Quatient tinggi lebih berani mengambil
resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan
advertisy Quatient tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif.
e.
Perbaikan
Seseorang
dengan Adversity Quatient yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan
dengan langkah konkrit, yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek
agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain.
f.
Ketekunan
Seligman
menemukan bahwa seseorang yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa
bertahan.
g.
Belajar
Menurut
Carol Dweck (Stoltz 2000:95) membuktikan
bahwa anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih
berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola pesimistis.
4.
Tiga
Tingkatan Kesulitan
Stoltz (Diana Nidau, 2008: 22)
mengkalsifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga dan menggambarkan
ketiga kesulitan tersebut dalam suatu piramida sebagai berikut :
Gambar 1. Tiga Tingkatan Kesulitan
(Sumber: Diana Nidau: 2008)
Bagian puncak piramida menggambarkan
sosial adversity (kesulitan di masayarakat). Kesulitan ini meliputi
ketidakjelasan masa depan, kecemasan tentang keamanan, ekonomi, serta hal-hal
lain yang dihadapi seseorang ketika berada dan berinteraksi dalam sebuah
masyarakat (Mulyadi & Mufita, 2006: 39). Pada seorang siswa sekolah
menengah pertama diidentifikasikan dengan cita-cita seorang siswa tersebut.
Kesulitan kedua yaitu kesulitan yang
berkaitan dengan work place adversity (
kesulitan ditempat kerja) meliputi keamanan ditempat kerja, pekerjaan, jaminan
penghidupan yang layak dan ketidakjelasan mengenai apa yang terjadi. Pada siswa
sekolah menengah pertama kesulitan di tempat kerja digambarkan sebagai
aktifitas sekolah yang penuh dengan tantangan, meliputi proses sosialisasi
orientasi lingkungan sekolah, proses belajar mengajar sehingga membutuhkan
motiovasi lebih dalam mnegerjakannya.
Kesulitan ketiga individual
adversity (kesulitan individu) yaitu individu menanggung beban akumulatif dari
ketiga tingkat, namun individu memulai perubahan dan pengendalian. Pada sekolah
menengah pertama, masing-masing siswa pasti akan menghadapi kesulitan, sehingga
kemampuan masing-masing siswa untuk menyelesaikan kesuliatan berpengaruh dalam
sekolah dan cita-citanya.
Dari
ketiga kesulitan diatas, tantangan berprestasi paling urgen bagi siswa (Diana
Nidau, 2008: 22 ). Kesulitan tersebut dapat diatasi apabila siswa mampu
melakukan perubahan positif dimulai dengan meningkatkan kendali terhadap
kesulitan.
5.
Karakter
Manusia Berdasarkan Tinggi Rendahnya Adversity Quotient
Di
dalam merespon suatu kesulitan terdapat tiga kelompok tipe manusia, di tinjau dari tingkat
kemampuannya (Stolz,
2000:18) :
a.
Quitters
Quitters (mereka
yang berhenti), adalah seseorang yang memillih untuk keluar, menghindari
kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Quitters (mereka
yang berhenti), orang-orang jenis ini berhenti di tengan proses pendakian,
gampang putus asa, dan menyerah (Ginanjar Ary Agustian, 2001: 271). Orang
dengan tipe ini cukup puas dengan pemenuhan
kebuuhan dasar atau fisiologis saja dan cenderung pasif, memilih untuk keluar
menghindari perjalanan, selanjutnya mundur dan berhenti. Para Quitter, menolak
menerima tawaran keberhasilan yang disertai dengan tantangan dan rintangan.
Orang yang seperti ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan. Dalam hierarki Maslow tipe ini
berada pada pemenuhan kebutuhan fisiologis yang letaknya paling dasar dalam
bentuk piramida.
b.
Campers
Campers atau satis-ficer (dari kata satified = puas
dan suffice = mencukupi). Golongan ini puas
dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Tipe ini merupakan
golongan yang sedikit lebih banyak, yaitu mengusahakan terpenuhinya kebutuhan
keamanaan dan rasa aman pada skala hiersrki Maslow. Kelompok ini juga tidak
tinggi kapasitasnya untuk perubahan karena terdorong oleh ketakutan dan hanya
mencari keamanan dan kenyamanan. Campers setidaknya telah melangkah dan
menanggapi tantangan, tetapi setalah mencapai tahap tertentu, campers berhenti
meskipun masih ada kesempatan untuk lebih berkembang lagi. Berbeda dengan
quitters,campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan yang
dihadapinnya sehingga telah mencapai tingkat tertentu.
c.
Climbers
Climbers
(pendaki) adalah mereka yang selalu optimis, melihat peluang-peluang, melihat
celah, melihat senoktah harapan dibalik keputusasaan, selalu bergairah untuk
maju. Noktah kecil yang dianggap sepele, bagi para climbers mampu dijadikannya
sebagai cahaya pencerah kesuksesan (Ginanjar Ary Agustian, 2001: 17).
Climbers
merupakan kelompok orang yang selalu berupaya mencapai puncak kebutuhan
aktualisasi diri pada sekala hierarki Maslow. Climbers adalah tipe manusia yang
berjuang seumur hidup tidak peduli sebesar apapun kesulitan yang datang.
Climbers tidak dikendalikan oleh lingkungan, tetapi dengan berbagai
kreatifitasnya tipe ini berusaha mengendalikan lingungannya. climbers akan
selalu memikirkan berbagai alternatif permasalahan dan menganggap kesulitan dan
rintangan yang ada justru menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang, dan
memperlajari lebih banyak lagi tentang kesulitan hidup. Tipe ini akan sselalu
siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh
adanya perubahan-perubahan.
Kemampuan
quitters, campers, dan climbers dalam menghadapi tantangan kesulitan dapat
dijelaskan bahwa quitters memang tidak selamanya ditakdirkan untuk selalu
kehilangan kesempatan namun dengan berbagai bantuan, quitters akan mendapat
dorongan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi.
Kehidupan climbers memang menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada
hentinya. Kesuksesan yang diraih berkaitan langsung dengan kemampuan dalam
menghadapi dan mengatasi kesulitan, setelah yang lainnya menyerah, inilah
indikator-indikator adversity quotient yang tinggi.
Tugas
PSIKOLOGI
UMUM
“ADVERSITY
QUOTIENT”
DISUSUN
OLEH:
1 A
Titis
Aprilia Dian P
(13111241060)
Ingrid
Maharani Basuki (13111241061)
Meilani
Ika Pratiwi (13111241062)
Meita
Hapsariningrum (13111241063)
Nova
Maria Hutagalung (13111241064)
Khalimatus
Sa’Diyah (13111241065)
Nur
Kholisoh
(13111241066)
Diah
Prabawati (13111241067)
Dewi
Lestari
(09111241040)
PENDIDIKAN GURU
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2013
0 komentar:
Posting Komentar